Di era ketika notifikasi ponsel berbunyi lebih sering daripada lonceng gereja di zaman pertengahan, manusia modern sering kali kewalahan dengan banjir informasi, drama media sosial, dan kecemasan eksistensial yang dibungkus tagar #selflove. Namun di tengah keributan digital itu, sebuah filsafat tua dari zaman Romawi—Stoisisme—kembali naik daun, seakan-akan menjadi “update software” bagi jiwa yang lelah dengan algoritma.
Dari Agora ke Timeline
Stoisisme lahir sekitar abad ke-3 SM di Yunani, dibawa oleh Zeno dari Citium, lalu dipoles oleh tokoh-tokoh besar seperti Seneca, Epictetus, hingga Kaisar Romawi Marcus Aurelius. Prinsip utamanya sederhana tapi menampar: kita tidak bisa mengendalikan dunia luar, hanya reaksi kita terhadapnya.
Bayangkan Marcus Aurelius, yang harus menghadapi perang, wabah, dan politik busuk di istana, tetap bisa menulis Meditations dengan ketenangan seorang biksu. Filosofi ini seakan mengajarkan: jika seorang Kaisar bisa tetap waras meski dunia kacau, mengapa kita tidak bisa menghadapi komentar pedas di Twitter?
Kini, kata-kata bijak para Stoik itu viral kembali dalam bentuk kutipan motivasi di Instagram, podcast produktivitas, hingga kursus online berbayar. Dari ruang agora hingga timeline, Stoisisme terbukti mampu bertransformasi mengikuti zaman.
Kenapa Stoisisme Cocok untuk Era Digital?
1. Menghadapi Overthinking
Era digital memberi kita kecepatan informasi, tapi juga mempercepat kekhawatiran. Stoisisme menawarkan obat: fokus hanya pada apa yang bisa kita kendalikan. Apakah kita bisa mengontrol ekonomi global? Tidak. Tapi kita bisa mengontrol cara kita mengatur keuangan pribadi.
2. Kebal dari Drama Media Sosial
Stoisisme mengajarkan keteguhan hati menghadapi hinaan dan pujian. Di dunia yang sibuk menghitung likes dan followers, Stoisisme hadir seperti perisai emosional. Kata Epictetus, “Bukan hal-hal yang mengganggu kita, tapi opini kita tentang hal-hal itu.”
3. Produktivitas Tanpa Kecemasan
Para influencer produktivitas menjual kalender digital, aplikasi to-do list, dan kursus manajemen waktu. Para Stoik? Mereka sudah sejak lama menekankan pentingnya disiplin, kesadaran diri, dan kebajikan—tanpa biaya langganan bulanan.
Stoisisme: Antara Kebijaksanaan dan Tren
Tentu saja, ada bahaya jika Stoisisme hanya dipahami sebatas kutipan estetik untuk feed Instagram. Filosofi ini bukan sekadar “jangan baper”, melainkan latihan panjang untuk mengendalikan emosi, menerima nasib, dan menjalani hidup dengan kebajikan.
Namun, jika dipahami dengan benar, Stoisisme bisa menjadi jalan tengah di era digital: kita bisa tetap menggunakan teknologi, tapi tidak diperbudak olehnya. Kita bisa berada di media sosial, tanpa kehilangan diri kita di dalamnya.
Pelajaran Penting dari Para Stoik
Seneca mengingatkan tentang waktu: “Bukan hidup kita yang singkat, tapi kita yang menyia-nyiakannya.”
Epictetus menekankan kebebasan batin: “Tidak ada orang yang bebas, kecuali dia yang menguasai dirinya sendiri.”
Marcus Aurelius menulis tentang kesadaran akan kefanaan: “Kehidupan singkat. Hidup dengan baik, sekarang.”
Ketiganya, meski hidup ribuan tahun lalu, terdengar relevan di zaman kita yang dipenuhi deadline, notifikasi, dan FOMO.
Penutup: Stoisisme sebagai Antivirus Jiwa
Era digital memang memberi banyak kemudahan, tapi juga menimbulkan jenis penderitaan baru. Stoisisme, meski tua, terasa segar justru karena ia mengajarkan sesuatu yang jarang ditawarkan dunia modern: ketenangan batin.
Mungkin inilah sebabnya Stoisisme kembali populer. Di tengah dunia yang riuh, ia hadir sebagai antivirus jiwa. Mengingatkan kita bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan—dan justru itulah kebebasan sejati.