Pengantar: Dari Kosmos ke Metafisika
Filsafat Yunani dimulai dengan pertanyaan sederhana: dari apakah alam semesta ini terbentuk? Thales menyebut air, Anaximenes mengajukan udara, sementara Herakleitos menyebut api. Plato kemudian mengangkat wacana ke langit ide, menyatakan bahwa realitas sejati bukanlah dunia fisik melainkan dunia bentuk abadi. Namun, Aristoteles, murid sekaligus kritikus Plato, mengambil jalan berbeda.
Ia tidak puas dengan dunia ide yang terpisah dari kenyataan. Baginya, filsafat harus berpijak pada realitas yang dapat diindra, meski untuk memahaminya diperlukan prinsip-prinsip yang lebih dalam. Dari sinilah lahir Metafisika, istilah yang muncul karena karya-karya Aristoteles tentang hal ini ditempatkan “setelah fisika” (meta ta physika).
Metafisika, bagi Aristoteles, adalah ilmu tentang being qua being—“ada sejauh ia ada.” Pertanyaan dasarnya sederhana namun tak lekang waktu: apa yang paling fundamental dari segala yang ada?
Substansi (Ousia) sebagai Dasar
Menurut Aristoteles, yang paling nyata dari segala sesuatu adalah substansi (ousia). Substansi adalah sesuatu yang berdiri sendiri, berbeda dari sifat atau aksiden yang hanya melekat padanya. Sebuah meja adalah substansi; sedangkan “cokelat” atau “persegi panjang” hanyalah sifat yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa meja.
Substansi inilah yang menjadi kunci bagi Aristoteles untuk memahami realitas. Tanpa substansi, semua hanya sekadar kualitas atau relasi kosong. Hal ini menjadi kritik terhadap Plato: dunia ide terlalu jauh dari kenyataan, sementara substansi Aristoteles berakar pada dunia yang dapat kita alami sehari-hari.
Empat Sebab (Aitia)
Untuk menjawab mengapa sesuatu ada, Aristoteles memperkenalkan teori empat sebab (causa):
-
Sebab Material (causa materialis): bahan dasar yang menyusun sesuatu. Kursi berasal dari kayu.
-
Sebab Formal (causa formalis): bentuk atau pola yang memberi identitas. Kursi tetap kursi karena bentuknya, bukan sekadar tumpukan kayu.
-
Sebab Efisien (causa efficiens): penggerak atau pembuatnya. Tukang kayu adalah penyebab efisien kursi.
-
Sebab Final (causa finalis): tujuan akhir atau telos. Kursi dibuat agar manusia bisa duduk.
Keempat sebab ini bekerja bersama. Tanpa material, tidak ada dasar; tanpa bentuk, tidak ada identitas; tanpa pembuat, tidak ada wujud; tanpa tujuan, tidak ada arah. Aristoteles mengajukan kerangka ini sebagai jawaban lebih lengkap dibanding penjelasan filsuf pra-Sokratik yang hanya mencari satu unsur dasar.
Potensi dan Aktualitas
Aristoteles juga memperkenalkan konsep potensi (dynamis) dan aktualitas (energeia/entelecheia). Setiap hal memiliki potensi untuk menjadi sesuatu, dan realitas terwujud ketika potensi itu diwujudkan.
Biji pohon adalah potensi, sedangkan pohon besar adalah aktualitasnya. Bayi manusia memiliki potensi menjadi orang dewasa, dan pendidikan serta pengalaman adalah proses menuju aktualitas itu. Perubahan, dengan demikian, bukan sekadar pergerakan mekanis, tetapi perjalanan dari kemungkinan menuju kenyataan.
Konsep ini memberi Aristoteles dasar teleologis: segala sesuatu bergerak menuju tujuan alamiahnya. Inilah yang membedakan filsafatnya dari mekanisme sains modern, yang lebih menekankan sebab efisien ketimbang tujuan akhir.
Tuhan sebagai Penggerak yang Tak Digerakkan
Puncak metafisika Aristoteles adalah gagasan tentang Penggerak yang Tak Digerakkan (Unmoved Mover). Semua gerak membutuhkan penyebab. Jika penyebab selalu bergantung pada penyebab lain, akan terjadi rantai tak berujung. Maka, harus ada satu prinsip pertama: penggerak yang tidak digerakkan.
Bagi Aristoteles, penggerak ini bukan tuhan personal yang ikut campur dalam urusan manusia, melainkan realitas murni, sempurna, dan tak berubah. Ia adalah pikiran yang berpikir tentang dirinya sendiri (nous noeseos). Semua yang ada di alam semesta bergerak karena tertarik pada kesempurnaan penggerak pertama ini.
Di sini, Aristoteles memberi fondasi filsafat yang kelak diserap oleh para teolog abad pertengahan, termasuk Thomas Aquinas. Gagasan “penggerak pertama” dipakai untuk menyelaraskan filsafat Yunani dengan doktrin ketuhanan Kristen.
Metafisika sebagai Ilmu tentang Ada
Aristoteles menekankan bahwa metafisika adalah ilmu tentang “ada sebagai ada.” Artinya, ia tidak membahas hal tertentu seperti fisika membahas benda bergerak atau biologi membahas makhluk hidup, melainkan keberadaan itu sendiri.
Ia membedakan berbagai kategori “ada”: substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, tindakan, dan penderitaan. Dengan kategori ini, Aristoteles memberi kerangka logis untuk menganalisis realitas.
Kritik terhadap Plato
Aristoteles tetap mengakui pentingnya bentuk (form) seperti Plato, tetapi menolak bahwa bentuk ada di dunia terpisah. Baginya, bentuk dan materi tidak bisa dipisahkan. Kursi bukan hanya ide kursi yang melayang di dunia lain, melainkan kesatuan antara kayu (materi) dan bentuk kursi.
Dengan cara ini, Aristoteles menurunkan filsafat dari langit ide ke bumi realitas. Ia membuat filsafat lebih dekat dengan sains empiris, tanpa kehilangan prinsip metafisikanya.
Warisan Abad Pertengahan
Pemikiran Aristoteles tentang metafisika diadopsi luas oleh para filsuf skolastik. Thomas Aquinas menjadikan empat sebab dan konsep penggerak tak digerakkan sebagai dasar argumen rasional tentang keberadaan Tuhan.
Namun, di sisi lain, ketergantungan pada teleologi Aristoteles juga membuat sains abad pertengahan terikat pada penjelasan tujuan, sehingga perkembangan mekanistik modern agak tertunda. Baru ketika Galileo dan Newton muncul, penjelasan kausalitas efisien lebih diutamakan ketimbang tujuan akhir.
Metafisika Aristoteles dan Sains Modern
Banyak pandangan Aristoteles sudah ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan modern, terutama dalam fisika. Misalnya, pandangan bahwa benda bergerak menuju tempat alaminya tidak lagi dipakai. Namun, kerangka berpikirnya masih berpengaruh.
Konsep potensi-aktualitas kembali hidup dalam filsafat kontemporer, terutama dalam biologi dan filsafat proses. Sementara itu, teori empat sebab terus menjadi inspirasi dalam filsafat ilmu, karena memberikan perspektif holistik dalam menjelaskan fenomena.
Kritik dan Relevansi
Bertrand Russell menyebut metafisika Aristoteles sebagai puncak sekaligus batas filsafat Yunani klasik. Ia berhasil membangun sistem rasional yang luas, tetapi juga menyisakan banyak pertanyaan. Apakah benar alam semesta memiliki tujuan? Apakah penggerak tak digerakkan lebih dari sekadar abstraksi logis?
Meski begitu, warisan Aristoteles tidak bisa diabaikan. Ia memperkenalkan cara berpikir sistematis, menjembatani antara empiris dan metafisis, serta memberi bahasa filosofis untuk membicarakan realitas.
Kesimpulan
Metafisika Aristoteles adalah upaya besar memahami realitas dengan menyeluruh. Dengan konsep substansi, empat sebab, potensi-aktualitas, dan penggerak tak digerakkan, Aristoteles membangun fondasi filsafat yang bertahan lebih dari dua milenium.
Ia menurunkan filsafat dari langit ide Plato ke bumi realitas, namun tetap mengajukan pertanyaan abadi: apa dasar dari segala sesuatu? Apakah dunia memiliki tujuan, ataukah ia hanyalah kebetulan yang tanpa arah?
Warisan Aristoteles adalah undangan abadi untuk berpikir: mencari prinsip pertama, menimbang sebab, membedakan potensi dari aktualitas, dan akhirnya menyadari bahwa filsafat bukan sekadar spekulasi, tetapi usaha memahami dunia dengan nalar yang teratur.