Ketika mendengar kata hedonisme, yang terbayang sering kali adalah pesta pora, gelas anggur yang tak pernah kosong, dan kehidupan glamour tanpa jeda. Namun, jauh sebelum citra itu melekat pada istilah modern, seorang filsuf Yunani bernama Epicurus memperkenalkan pandangan yang berbeda.
Epicurus mendirikan sebuah aliran filsafat yang kemudian melahirkan komunitas pengikut setia, dikenal sebagai kaum Epikurean. Berbeda dari stigma yang menempel, mereka bukan pencinta pesta, melainkan pencari ketenangan batin. Bagi mereka, kebahagiaan sejati tidak datang dari harta, kuasa, atau popularitas, melainkan dari kemampuan manusia untuk mengurangi rasa sakit dan ketakutan.
Bayangkan Athena abad ke-3 sebelum Masehi: kota dengan kuil marmer yang menjulang, agora tempat perdebatan sengit, dan sekolah filsafat yang bersaing mencari pengaruh. Di tengah gemerlap itu, Epicurus memilih jalan berbeda. Ia mendirikan sebuah taman sederhana di pinggiran kota—The Garden—tempat orang-orang berkumpul, berbincang ringan, dan berbagi roti serta anggur murah.
Di sanalah kaum Epikurean hidup dan belajar. Tidak sibuk dengan ambisi politik atau perdebatan abstrak, mereka justru menekuni seni hidup sederhana: tenang, bebas dari rasa takut, dan cukup dengan apa yang ada.
Epicurus dan Taman Filsafatnya
Epicurus lahir pada tahun 341 SM di pulau Samos. Saat dewasa, ia pindah ke Athena dan mendirikan sekolah filsafat yang kemudian dikenal sebagai The Garden (Kepun). Tidak seperti Akademia Plato yang megah atau Lyceum Aristoteles yang penuh murid cerdas dari kalangan elit, Taman Epicurus lebih inklusif. Kaum perempuan, budak, bahkan orang biasa bisa belajar filsafat di sana—suatu hal yang cukup radikal untuk ukuran Yunani kuno.
Di sinilah gagasan inti Epikureanisme disebarkan:
- Kesenangan (hedone) sebagai kebaikan tertinggi.
Namun, kesenangan yang dimaksud bukanlah pesta pora, melainkan ataraxia (ketenangan batin) dan aponia (ketiadaan rasa sakit). - Hidup sederhana adalah hidup bahagia.
Epicurus menekankan pentingnya kebutuhan dasar: makanan cukup, persahabatan sejati, dan kebebasan dari ketakutan. - Ilmu alam membebaskan manusia dari rasa takut.
Dengan mempelajari atom, langit, dan hukum alam, manusia bisa berhenti takut pada dewa yang murka atau siksa setelah mati.
Dengan prinsip itu, Epicurus berhasil membangun komunitas filsafat yang hidup berdasarkan kesederhanaan, diskusi, dan persahabatan.
Filosofi Kesenangan yang Disalahpahami
Di kemudian hari, Epikureanisme sering dituding sebagai ajaran hedonisme liar. Padahal, jika menilik teks-teks asli Epicurus, justru yang ia anjurkan adalah menghindari kesenangan berlebihan yang membawa penderitaan.
Misalnya, Epicurus menilai bahwa menikmati makanan lezat itu sah-sah saja, tapi ketergantungan pada makanan mewah hanya akan membuat manusia sengsara saat tidak mendapatkannya. Lebih baik makan roti dan air dengan rasa syukur, daripada steak dan anggur dengan rasa cemas.
Dengan cara ini, kaum Epikurean sebenarnya mendorong manusia untuk mengendalikan keinginan, bukan memuaskannya tanpa batas.
Empat Obat Epicurus (Tetrapharmakos)
Epicurus merumuskan apa yang disebut sebagai tetrapharmakos—“empat obat mujarab” bagi jiwa manusia.
- Jangan takut pada dewa.
Para dewa mungkin ada, tapi mereka tidak sibuk mengatur hidup manusia. Jadi, berhentilah cemas akan murka langit. - Jangan takut pada kematian.
Kematian hanyalah akhir kesadaran. Saat kita hidup, kematian belum ada; saat kematian datang, kita sudah tiada. - Yang baik mudah diperoleh.
Kebutuhan dasar manusia sederhana: makan cukup, tempat berteduh, dan teman sejati. - Yang buruk mudah ditanggung.
Rasa sakit jarang berlangsung selamanya. Kesadaran ini membuat penderitaan lebih mudah diterima.
Bagi kaum Epikurean, jika manusia bisa memahami keempat hal ini, hidup akan lebih ringan dan jauh dari kecemasan.
Siapa Sebenarnya Kaum Epikurean?
Kaum Epikurean bukanlah sekte eksklusif bagi bangsawan atau pemikir elit. Mereka justru merupakan komunitas inklusif, sesuatu yang jarang ditemui di dunia Yunani kuno. Di dalam taman Epicurus, yang dikenal sebagai The Garden, siapa pun bisa belajar filsafat: perempuan, budak, pedagang, bahkan orang miskin.
Mereka hidup hampir seperti sebuah keluarga besar. Tidak ada hirarki kaku atau pamer status sosial. Prinsip mereka sederhana: selama seseorang mau mencari ketenangan batin dan melepaskan diri dari ketakutan yang sia-sia, ia bisa menjadi bagian dari mereka.
Berbeda dengan kaum Stoik yang lebih keras dan dekat dengan politik negara, kaum Epikurean memilih menjauh dari urusan publik. Bagi mereka, politik hanya menambah kecemasan. Mengurus negara berarti membuka pintu pada konflik, iri hati, dan ambisi—hal-hal yang justru merusak ketenangan jiwa.
Epikureanisme vs Stoisisme: Dua Jalan Hidup
Yunani kuno mengenal banyak aliran filsafat. Dari semua itu, Stoisisme sering disebut sebagai “saingan abadi” Epikureanisme.
-
Stoisisme mengajarkan keteguhan menghadapi nasib. Seorang Stoik mencari kebajikan dengan menerima apapun yang terjadi tanpa keluh kesah.
-
Epikureanisme mengajarkan bahwa kebahagiaan datang dari menghindari rasa sakit, baik fisik maupun mental, dan menikmati hidup sederhana.
Dua pendekatan ini sering dianggap berlawanan. Stoik terlihat tegar dan keras, sementara Epikurean dianggap lembut dan tenang. Namun, keduanya sama-sama menawarkan resep hidup untuk menghadapi ketidakpastian dunia.
Pengaruh Epikureanisme di Era Romawi
Filsafat Epicurus kemudian menyebar luas di era Romawi. Salah satu tokoh besar yang menyuarakan ajarannya adalah Lucretius, penyair yang menulis karya monumental De Rerum Natura (Tentang Hakikat Benda).
Dalam puisi filsafat itu, Lucretius menjelaskan teori atom ala Epicurus, menolak takhayul religius, dan menekankan pentingnya akal sehat. Karya ini kelak menjadi salah satu fondasi pemikiran ilmiah di Eropa, terutama pada masa Renaisans.
Meskipun kemudian dikritik oleh kalangan Kristen awal yang melihat Epikureanisme terlalu “duniawi” dan menolak kehidupan setelah mati, pengaruh Epicurus tetap bertahan. Bahkan filsuf modern seperti Thomas Jefferson, penulis Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, mengaku dirinya seorang Epikurean.
Relevansi Epikureanisme di Dunia Modern
Jika Epicurus hidup hari ini, ia mungkin akan menatap media sosial dengan geleng kepala. Dunia modern penuh dengan ilusi kesenangan: gawai terbaru, liburan mewah, rumah megah, dan validasi digital berupa “like” dan “followers”.
Namun, apakah semua itu membuat manusia benar-benar tenang? Atau justru menambah cemas dan iri?
Prinsip Epikureanisme terasa relevan:
-
Ketenangan lebih penting daripada sensasi.
-
Persahabatan lebih berharga daripada popularitas.
-
Sederhana sering lebih nikmat daripada berlebihan.
Di tengah kehidupan serba cepat, ajaran Epicurus terdengar seperti ajakan untuk slow living: melambat, menikmati secangkir kopi tanpa tergesa, dan menghargai kebersamaan lebih dari sekadar pencapaian materi.
Kaum Epikurean mengajarkan kita bahwa hidup bahagia tidak bergantung pada pesta pora atau kemewahan. Yang penting adalah membebaskan diri dari ketakutan yang tidak perlu: takut miskin, takut mati, takut gagal.
Epicurus sendiri hidup sederhana, ditemani sahabat-sahabatnya di taman filsafat. Ia membuktikan bahwa kebahagiaan bisa tumbuh dari hal-hal kecil—jauh dari hiruk-pikuk kekuasaan dan kekayaan.
Mungkin inilah warisan terbesar kaum Epikurean: seni hidup yang ringan, sederhana, dan penuh kesadaran bahwa hidup ini singkat, jadi sebaiknya kita menikmatinya tanpa rasa takut.