Di suatu malam yang tenang, kita menatap langit berbintang. Ada rasa takjub sekaligus pertanyaan abadi: apakah kita sendirian di alam semesta ini? Pertanyaan itu bukan sekadar renungan filsafat, melainkan juga menjadi salah satu pendorong lahirnya sebuah disiplin ilmu yang kini semakin serius digarap: astrobiologi.
Astrobiologi adalah cabang sains yang mempelajari kemungkinan adanya kehidupan di luar Bumi. Ia berdiri di persimpangan biologi, astronomi, kimia, fisika, hingga geologi. Jika biologi selama ini mengajarkan tentang kehidupan di Bumi, maka astrobiologi mencoba memperluas cakrawala: bagaimana jika kehidupan tidak terbatas di satu planet biru ini saja?
Dari Mitologi ke Sains: Pencarian Kehidupan yang Tak Pernah Padam
Manusia sejak lama selalu bertanya tentang kehidupan di luar sana. Bangsa Yunani kuno pernah berteori tentang “pluralitas dunia,” sementara di abad pertengahan gagasan ini kerap dianggap bid’ah. Lalu Galileo dengan teleskopnya mengubah cara kita memandang langit: bahwa planet-planet lain juga dunia, bukan sekadar titik cahaya.
Namun, barulah pada abad ke-20, dengan kemajuan biologi molekuler dan eksplorasi luar angkasa, pencarian kehidupan di luar Bumi menjadi proyek ilmiah yang nyata. NASA bahkan memiliki divisi khusus astrobiologi, lengkap dengan teleskop, rover, hingga misi antariksa yang dirancang untuk satu tujuan: mencari tanda kehidupan.
Definisi “Kehidupan”: Lebih Sulit dari yang Kita Kira
Astrobiologi menghadapi satu persoalan mendasar: apa sebenarnya yang dimaksud dengan kehidupan?
Di Bumi, kehidupan dicirikan oleh adanya metabolisme, pertumbuhan, reproduksi, dan adaptasi. Tapi apakah kriteria itu berlaku universal? Bagaimana jika ada bentuk kehidupan yang tidak membutuhkan air, atau menggunakan molekul berbeda selain DNA?
Para ilmuwan sering kali menggunakan istilah “life as we know it” (kehidupan sebagaimana yang kita kenal). Artinya, fokus pencarian masih didasarkan pada pengalaman di Bumi: kehidupan berbasis karbon, air sebagai pelarut, dan energi dari cahaya atau kimia. Tetapi kemungkinan adanya “life as we don’t know it” tetap terbuka—bentuk kehidupan yang sama sekali berbeda dari definisi kita.
Mars, Europa, dan Enceladus: Kandidat Rumah Kehidupan
Hingga saat ini, pencarian kehidupan masih terkonsentrasi pada dunia terdekat di Tata Surya. Ada tiga kandidat yang selalu disebut:
- Mars
Planet merah ini dulunya memiliki sungai, danau, bahkan mungkin lautan. Rover Curiosity dan Perseverance menemukan bukti mineral yang terbentuk oleh air, serta senyawa organik sederhana. Apakah Mars pernah menjadi rumah mikroba purba? Pertanyaan ini masih terbuka. - Europa (bulan Jupiter)
Di balik permukaan es yang membeku, terdapat lautan air asin yang volumenya lebih besar dari semua samudra Bumi digabungkan. Dengan aktivitas panas dari inti planet, Europa menjadi kandidat kuat bagi kehidupan mikroba laut dalam. - Enceladus (bulan Saturnus)
Satelit mungil ini mengejutkan dunia ketika Cassini menemukan geyser yang menyemburkan air, es, dan molekul organik dari bawah permukaannya. Jika ada samudra hangat di bawah sana, mungkinkah juga ada kehidupan?
Ketiga dunia ini bukan sekadar objek penelitian, tapi juga panggung bagi imajinasi manusia: kita sedang mengintip kemungkinan adanya “Bumi mini” di tempat lain.
Eksoplanet: Perburuan Dunia Baru
Sejak tahun 1990-an, astronom menemukan ribuan eksoplanet—planet yang mengorbit bintang lain. Beberapa di antaranya berada di zona laik huni, yaitu area di mana suhu memungkinkan air tetap cair di permukaan.
Teleskop luar angkasa seperti Kepler, TESS, dan kini James Webb Space Telescope (JWST), telah membawa kita ke era baru: mengintip atmosfer planet-planet jauh untuk mencari tanda-tanda kehidupan, seperti oksigen, metana, atau karbon dioksida dalam komposisi yang tidak wajar.
Bayangkan, dalam satu dekade mendatang, kita mungkin menemukan dunia yang mirip Bumi: memiliki laut, awan, dan mungkin bahkan vegetasi. Jika itu terjadi, pertanyaan “apakah kita sendirian?” bisa mendapat jawaban ilmiah untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Astrobiologi dan Filsafat: Mengguncang Pandangan Manusia
Lebih dari sekadar sains, astrobiologi juga menyentuh ranah filsafat. Jika suatu hari kita menemukan kehidupan, meski hanya mikroba di bawah es Europa, dampaknya akan luar biasa. Itu berarti kehidupan bukanlah fenomena langka, melainkan hukum alam yang berulang.
Namun, jika setelah ratusan tahun pencarian kita tidak menemukan apa-apa, maka itu pun mengandung pesan: kehidupan sangat unik, dan keberadaan manusia menjadi lebih istimewa dari yang kita kira.
Carl Sagan, astronom legendaris, pernah berkata: “If we are alone in the universe, it sure seems like an awful waste of space.” (Jika kita sendirian di alam semesta, itu tampak seperti pemborosan ruang yang luar biasa.)
Antara Harapan dan Realitas
Astrobiologi adalah ilmu yang memadukan data keras dengan imajinasi berani. Kita belum menemukan kehidupan di luar Bumi, tetapi pencarian itu sendiri sudah mengubah cara kita memahami posisi manusia.
Dari teleskop raksasa yang menatap bintang jauh, hingga rover kecil yang merayap di permukaan Mars, semua usaha ini menunjukkan satu hal: rasa ingin tahu manusia adalah bahan bakar peradaban.
Entah kita akhirnya menemukan alien mikroba atau hanya kesunyian kosmik, pencarian ini tetap bernilai. Karena pada akhirnya, mencari kehidupan di antara bintang juga berarti mencari makna tentang siapa kita di alam semesta.