Jika ada satu nama yang selalu disebut saat kita membicarakan fondasi liberalisme klasik dan demokrasi modern, maka nama itu adalah John Locke. Ia bukan sekadar filsuf Inggris abad ke-17, melainkan seorang arsitek ideologis bagi negara modern yang lahir dari kontrak sosial dan kepercayaan pada hak-hak individu. Locke tidak menulis untuk sekadar berteori di menara gading; tulisannya lahir dari zaman yang penuh pergolakan—perang sipil Inggris, revolusi, dan pergulatan antara monarki absolut dengan kebebasan rakyat.
Melalui karya monumentalnya Two Treatises of Government, Locke membangun kerangka pemikiran yang menolak kekuasaan absolut raja dan mengajukan alternatif berupa negara yang lahir dari kesepakatan bebas antarindividu. Tulisan ini akan menelusuri inti filsafat politik Locke melalui lima konsep penting: prinsip keterwarisan, negara alami dan hukum alam, kesepakatan sosial, hak milik, serta gagasan pengawasan dan penyetimbangan kekuasaan.
Prinsip Keterwarisan
Abad ke-17 adalah masa yang sarat konflik politik di Eropa. Raja dan bangsawan masih memegang pandangan bahwa kekuasaan adalah hak ilahi, yang secara otomatis diwariskan dari generasi ke generasi. Di tengah dominasi gagasan ini, John Locke muncul sebagai kritikus tajam. Ia menolak klaim bahwa kekuasaan politik bisa diwariskan dari Adam, manusia pertama, kepada raja atau keluarga tertentu.
Dalam First Treatise of Government, Locke membongkar argumen Robert Filmer tentang “patriarki absolut.” Filmer berpendapat bahwa Adam, sebagai bapak manusia, memberikan hak kepada keturunannya untuk memerintah atas manusia lainnya. Locke menekankan bahwa klaim ini tidak memiliki dasar historis maupun rasional. Baginya, kekuasaan politik yang sah harus lahir dari persetujuan rakyat, bukan karena garis keturunan atau klaim ilahi.
Locke menggunakan pendekatan kritis dan rasional untuk membuktikan bahwa hak ilahi raja adalah mitos yang berbahaya. Ia menunjukkan bahwa jika kekuasaan dianggap sah hanya karena keturunan, maka rakyat kehilangan suara dan hak untuk menuntut keadilan. Hal ini menimbulkan sistem pemerintahan yang otoriter, di mana penguasa dapat bertindak sewenang-wenang tanpa pertanggungjawaban.
Narasi Locke pada prinsip keterwarisan menekankan kedaulatan individu. Manusia dilahirkan bebas dan setara, sehingga tidak ada yang memiliki hak otomatis untuk menindas orang lain. Dalam konteks sejarah, prinsip ini memengaruhi Revolusi Glorious (1688) di Inggris, di mana rakyat dan parlemen menyingkirkan Raja James II karena melampaui mandat moral dan politiknya. Locke memberikan kerangka filosofis yang jelas bahwa rakyat berhak menolak penguasa yang melampaui batas.
Secara naratif, kita bisa membayangkan masyarakat Inggris abad ke-17 yang mulai mempertanyakan legitimasi raja. Locke hadir bukan hanya sebagai pengkritik, tetapi sebagai arsitek ideologis yang menegaskan bahwa legitimasi politik bersumber dari persetujuan rakyat, bukan darah biru. Ia menegaskan bahwa rakyat harus menjadi pusat pertimbangan dalam setiap struktur kekuasaan, membentuk dasar bagi demokrasi modern yang menghormati hak individu.
Lebih jauh, prinsip keterwarisan Locke memberikan pelajaran penting bagi era modern: kekuasaan yang tidak sah atau diwariskan tanpa persetujuan rakyat selalu rawan tirani. Dengan kata lain, demokrasi sejati lahir ketika rakyat menjadi sumber legitimasi, bukan keturunan atau kekuatan militer semata. Locke menekankan hak moral rakyat untuk mengawasi dan menantang penguasa, sebuah konsep yang menjadi inti liberalisme klasik.
Negara Alami dan Hukum Alam
Locke kemudian menggali konsep state of nature atau keadaan alami manusia. Berbeda dengan Hobbes, yang melihat manusia dalam keadaan alami sebagai “perang semua melawan semua,” Locke memandang manusia hidup relatif damai, diikat oleh hukum alam (natural law).
Hukum alam menurut Locke adalah prinsip moral universal: semua manusia dilahirkan bebas, setara, dan memiliki hak atas hidup, kebebasan, serta kepemilikan. Hak-hak ini melekat sejak lahir dan tidak bergantung pada keberadaan negara atau hukum positif. Negara, dalam pandangan Locke, tidak menciptakan hak, melainkan melindunginya.
Namun, keadaan alami tidak sempurna. Konflik bisa muncul karena perbedaan interpretasi hukum alam atau pertentangan kepentingan. Misalnya, dua orang mungkin mengklaim hak atas sumber daya yang sama, atau perselisihan bisa timbul dalam masalah pertanian, kepemilikan, atau kontrak pribadi. Tanpa otoritas yang netral, penyelesaian konflik akan sulit dan sering kali bersifat kekerasan.
Fungsi negara, menurut Locke, adalah menjadi penegak hukum yang adil, memastikan bahwa hak individu terlindungi. Negara bukanlah penguasa mutlak, tetapi pelayan rakyat yang menjaga ketertiban dan keadilan. Konsep ini menegaskan bahwa hak individu lebih tinggi daripada negara, suatu ide yang menjadi dasar demokrasi liberal modern.
Secara naratif, kita bisa membayangkan masyarakat Inggris yang hidup di tengah pergolakan politik abad ke-17. Locke hadir sebagai pemandu intelektual, menekankan bahwa negara harus ada untuk melindungi hak-hak alami, bukan untuk mendominasi atau menindas rakyat. Konsep ini menjadi landasan penting bagi sistem pemerintahan modern: kekuasaan bersifat terbatas dan diawasi, sedangkan hak rakyat adalah pusat dari legitimasi politik.
Locke juga menekankan bahwa hukum alam bersifat universal dan rasional. Tidak ada penguasa atau lembaga yang berhak meniadakan hak dasar manusia, karena hak itu bersifat melekat dan tidak dapat dicabut. Ini menimbulkan keterikatan moral antara warga negara dan pemerintah: rakyat tunduk pada hukum yang adil, dan pemerintah wajib menegakkan hukum yang melindungi hak-hak individu.
Kesepakatan Sosial
Setelah membahas hukum alam, Locke menegaskan bahwa negara yang sah lahir dari kesepakatan sosial (social contract). Individu-individu, menyadari keterbatasan kemampuan mereka dalam menegakkan hukum alam sendiri, menyatukan diri dalam sebuah komunitas politik melalui persetujuan sukarela.
Berbeda dengan Hobbes yang menekankan penyerahan total kepada penguasa, Locke menekankan bahwa kontrak sosial bersifat terbatas dan dapat dicabut. Rakyat menyerahkan sebagian kebebasannya untuk membentuk pemerintahan, tetapi tetap memegang hak-hak fundamentalnya. Pemerintah diberikan mandat untuk melindungi hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan warga.
Konsep kesepakatan sosial Locke menjadi fondasi demokrasi modern. Ia menegaskan bahwa pemerintah sah hanya jika menjalankan fungsi tersebut. Jika pemerintah gagal atau menyalahgunakan kekuasaan, rakyat memiliki hak moral untuk menarik mandat dan mengganti pemerintahan.
Sejarah membuktikan pengaruh Locke: Revolusi Glorious 1688 di Inggris dan Revolusi Amerika 1776 mengambil inspirasi langsung dari gagasan ini. Koloni Amerika menolak Raja Inggris karena melanggar hak-hak alami rakyat, dan Locke menyediakan kerangka filosofis yang membenarkan tindakan tersebut.
Narasi Locke tentang kontrak sosial juga menekankan peran aktif individu dalam politik. Kontrak sosial bukan formalitas, tetapi janji moral: pemerintah ada untuk melayani rakyat, dan rakyat memiliki hak serta tanggung jawab untuk menegur atau mengganti pemerintah yang melanggar mandat. Ini menegaskan bahwa legitimasi politik bersumber dari rakyat, bukan dari kekuatan militer, garis keturunan, atau klaim ilahi.
Hak Milik
Salah satu aspek paling terkenal dari filsafat politik Locke adalah hak milik. Locke menekankan bahwa hak milik bukan sekadar pemberian negara, tetapi hak alamiah yang melekat pada manusia.
Locke menjelaskan bahwa milik sah lahir ketika seseorang mencampurkan tenaga dan usaha dengan benda alam. Misalnya, seorang petani yang menanami tanah liar atau membangun rumah berhak atas tanah dan hasilnya. Hak ini merupakan ekstensi dari hak individu untuk bertahan hidup dan memanfaatkan tenaga sendiri.
Namun Locke juga menegaskan batasan etis: kepemilikan sah hanya sejauh tidak merugikan orang lain dan tidak mengambil lebih dari yang bisa digunakan. Prinsip ini mencegah eksploitasi berlebihan dan memastikan kepemilikan tetap sejalan dengan kesejahteraan sosial.
Hak milik bagi Locke bukan sekadar ekonomi, tetapi simbol kebebasan individu. Dengan hak milik, manusia memperoleh kendali atas lingkungan dan hidupnya, serta mengamankan hak-hak lainnya seperti hak untuk hidup dan kebebasan.
Dalam konteks modern, prinsip ini menjadi dasar liberalisme ekonomi dan kapitalisme. Namun, prinsip Locke juga menimbulkan dilema: bagaimana menyeimbangkan hak milik individu dengan kepentingan publik? Pertanyaan ini tetap relevan, misalnya dalam isu distribusi sumber daya alam, kepemilikan tanah, dan regulasi perusahaan besar.
Pengawasan dan Penyetimbangan
Locke menyadari bahwa bahkan pemerintah yang sah bisa menyalahgunakan kekuasaan. Untuk itu, ia menekankan prinsip pengawasan dan penyetimbangan kekuasaan (checks and balances). Kekuasaan politik harus dibagi antara legislatif dan eksekutif. Fungsi legislatif membuat hukum, sementara eksekutif menjalankan hukum tersebut. Pemisahan ini mencegah dominasi satu pihak dan potensi tirani.
Selain itu, rakyat memiliki hak untuk mengawasi dan menegur pemerintah. Jika penguasa melanggar hukum atau merampas hak warga, rakyat sah menuntut pertanggungjawaban, bahkan mengganti pemerintah. Locke menekankan bahwa mandat pemerintah bersifat servant leadership, bukan hak mutlak.
Prinsip ini menjadi inspirasi konstitusi modern, termasuk sistem pemerintahan Amerika Serikat dan banyak demokrasi kontemporer. Locke menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak diawasi berpotensi menjadi tirani, dan pengawasan aktif dari rakyat adalah kunci menjaga kebebasan dan keadilan.
Penutup: Warisan John Locke
John Locke meletakkan fondasi demokrasi modern. Dari menolak hak ilahi raja, konsep negara alami, hukum alam, kontrak sosial, hak milik, hingga checks and balances, Locke menegaskan hak dan tanggung jawab individu sebagai inti negara.
Pemikiran Locke tetap relevan: pemerintah sah hanya jika melindungi hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan warga, dan rakyat memiliki hak moral untuk menegur atau mengganti pemerintah yang melenceng. Locke mengingatkan bahwa negara lahir untuk melayani, bukan menindas, dan kekuasaan harus selalu dibatasi dan diawasi.
Di abad 21, gagasan Locke menjadi lensa untuk menilai demokrasi modern, hak asasi manusia, dan hubungan antara warga negara dan pemerintah. Politik yang beradab selalu dimulai dari kesadaran bahwa kebebasan dan tanggung jawab individu adalah pondasi utama.