Perubahan nomenklatur kebijakan pendidikan tinggi dari “Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM)” menjadi “Kampus Berdampak” oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menandai sebuah babak baru yang patut dicermati dengan skeptisisme. Dibingkai sebagai sebuah “keberlanjutan” dan “penyempurnaan”, pergeseran ini secara implisit mengakui bahwa euforia “kemerdekaan” yang ditawarkan MBKM belum cukup untuk menjawab tantangan fundamental pendidikan tinggi. Namun, pertanyaan yang lebih mendesak adalah: apakah label “Berdampak” ini merupakan solusi substantif, atau sekadar manuver retoris untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada, sambil memperkenalkan seperangkat masalah baru?
Jebakan Metrik dan Ilusi Kontrol
Perubahan dari “merdeka” menjadi “berdampak” adalah sebuah langkah yang problematis. Istilah “merdeka” dalam MBKM, meskipun seringkali liar dan sulit dikelola, setidaknya menempatkan agensi dan pengalaman mahasiswa sebagai pusatnya. Kini, fokus bergeser pada “dampak” sebuah konsep yang sangat licin dan mudah direduksi menjadi angka-angka yang memuaskan laporan birokrasi, namun belum tentu mencerminkan perubahan transformatif yang sesungguhnya.
Keraguan utama terletak pada :
- Politisasi “Dampak”: Siapa yang berhak mendefinisikan dan memvalidasi “dampak”? Kemendiktisaintek, melalui program-program yang terpusat, kini menjadi penafsir tunggal atas apa yang dianggap berdampak. Ini mengancam otonomi perguruan tinggi dan berisiko menyeragamkan inovasi. Kampus akan berlomba-lomba mengejar program yang sesuai dengan selera pemerintah, bukan yang benar-benar lahir dari kebutuhan unik masyarakat di sekitarnya.
- Beban Administratif Baru: Jika MBKM dikritik karena beban administrasinya (konversi SKS, pelaporan, dll.), maka “Kampus Berdampak” berpotensi melahirkan beban yang lebih berat. Perguruan tinggi tidak hanya dituntut untuk melaksanakan program, tetapi juga harus membuktikan dampaknya secara kuantitatif. Ini akan menyedot sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk perbaikan kualitas pengajaran dan riset.
- Mengabaikan Akar Masalah: Artikel dari Detik.com (2 Mei 2025) meluncurkan daftar lebih dari 20 program di bawah payung “Kampus Berdampak”. Sebagian besar adalah kompetisi dan lomba yang sudah ada sebelumnya (PIMNAS, ONMIPA, KRI, dll.). Ini menunjukkan bahwa perubahan ini lebih bersifat rebranding daripada reformasi struktural. Masalah fundamental seperti kualitas dosen, kurikulum yang adaptif, dan kesenjangan infrastruktur antar-kampus tidak tersentuh secara signifikan.

Perbandingan Data Pendekatan: Klaim Pemerintah vs Realitas yang Diragukan
Pendekatan Utama
- (Klaim Pemerintah) MBKM : Berpusat pada mahasiswa (Student-centric). Memberikan kebebasan dan fleksibilitas untuk pengalaman belajar di luar kampus.
- (Klaim Pemerintah) Kampus berdampak : Berpusat pada masalah (Problem-centric). Mendorong perguruan tinggi untuk menjadi solusi bagi masyarakat dan industri.
- Realitas & keraguan : Pergeseran ini memindahkan fokus dari proses (pengalaman mahasiswa) ke hasil (dampak). Namun, tanpa perbaikan sistem, ini hanya memindahkan beban dari “memfasilitasi kebebasan” menjadi “membuktikan dampak”, yang jauh lebih sulit dan subyektif.
Keterlibatan Mahasiswa
- (Klaim Pemerintah) MBKM : Partisipasi luas dalam berbagai program (magang, studi independen, KKN tematik, dll.) dengan penekanan pada kuantitas partisipasi.
- (Klaim Pemerintah) Kampus berdampak : Partisipasi terfokus pada proyek-proyek strategis yang memiliki target dampak jelas. Penekanan pada kualitas kontribusi.
- Realitas & keraguan : Siapa yang akan menentukan proyek mana yang “strategis”? Hal ini berisiko menciptakan elitisme baru, di mana hanya mahasiswa dari prodi atau universitas tertentu yang dapat mengakses proyek “berdampak tinggi”, sementara yang lain kembali terpinggirkan.
Kolaborasi
- (Klaim Pemerintah) MBKM : Kemitraan dengan beragam mitra (DUDI, NGO, instansi pemerintah) yang seringkali bersifat transaksional dan sporadis.
- (Klaim Pemerintah) Kampus berdampak : Kemitraan strategis dan berkelanjutan yang berorientasi pada hilirisasi riset dan penyelesaian masalah riil.
- Realitas & keraguan : Klaim kemitraan strategis adalah jargon klasik. Tanpa insentif fiskal yang kuat bagi industri dan perubahan regulasi yang mempermudah kolaborasi, ini akan tetap menjadi dokumen di atas kertas. Perguruan tinggi akan tetap kesulitan menjalin kemitraan yang mendalam dan setara.
Pengukuran Dampak
- (Klaim Pemerintah) MBKM : Diukur dari input dan output: Jumlah mahasiswa yang ikut, jumlah SKS yang dikonversi, jumlah mitra yang digandeng.
- (Klaim Pemerintah) Kampus berdampak : Diukur dari outcome: Masalah yang terpecahkan, paten yang dihilirisasi, kebijakan yang terpengaruh, peningkatan kesejahteraan masyarakat.
- Realitas & keraguan : Ini adalah titik paling rapuh. Mengukur outcome sosial-ekonomi adalah pekerjaan yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu lama. Universitas akan tertekan untuk menghasilkan “klaim dampak” yang instan, yang pada akhirnya dapat mendorong praktik impact washing memoles laporan agar terlihat berdampak.

Klaim Resmi dari Kemendikti Saintek
Narasi resmi pemerintah, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber, menekankan penyempurnaan dan keberlanjutan.
- Sebagai Keberlanjutan, Bukan Penggantian: “Kampus Berdampak” diposisikan sebagai “aktualisasi” dan “keberlanjutan” dari Kampus Merdeka, bukan menggantinya. Tujuannya adalah memastikan kesempatan belajar yang luas itu menghasilkan sesuatu yang konkret dan dirasakan masyarakat.
- Menjadi Solusi: Tujuan utamanya adalah “menjadikan perguruan tinggi tidak hanya berperan dalam menghasilkan lulusan berkualitas, tetapi juga sebagai pusat solusi bagi permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ada di masyarakat” (SEVIMA, 2024).
- Kolaborasi untuk Pertumbuhan: Transformasi ini diharapkan dapat “mendorong kolaborasi antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah, industri, masyarakat, dan UMKM” agar kampus bisa menjadi “pusat pertumbuhan ekonomi di daerah”.
Sitasi dalam teks: (SEVIMA, 2024; Tempo.co, 2025; Detik.com, 2 Mei 2025).
Dari Harapan Reformasi ke Keletihan Birokrasi
Pergeseran dari “Kampus Merdeka” ke “Kampus Berdampak” sejatinya adalah pengakuan diam-diam bahwa kebebasan tanpa arah dan kapasitas yang memadai tidak akan menghasilkan perubahan signifikan. Namun, solusi yang ditawarkan sebuah label baru yang menekankan “dampak” justru berisiko menjadi bumerang. Ia mengalihkan energi institusi dari tugas fundamentalnya dalam pengajaran dan penelitian mendalam, ke arah perburuan proyek dan kompetisi yang fotogenik demi memenuhi indikator kinerja yang ditetapkan oleh pusat.
Alih-alih memberdayakan, kebijakan “Kampus Berdampak” berpotensi menciptakan sebuah rezim evaluasi yang lebih ketat dan menekan, di mana otonomi akademik semakin tergerus oleh tuntutan untuk menghasilkan “dampak” yang instan dan terukur. Tanpa perbaikan tata kelola, pendanaan yang adil, dan penguatan kapasitas institusional secara menyeluruh, kebijakan ini hanya akan menjadi babak selanjutnya dalam sejarah panjang reformasi pendidikan Indonesia: kaya akan slogan, namun miskin substansi. Kita patut meragukan apakah ini adalah jalan menuju kemajuan, atau sekadar jalan lain menuju keletihan birokrasi yang tak berkesudahan.
~ Aqmal Marzuki : 2025